- Hakikat kepariwisataan adalah berdasar pada keunikan, kekhasan,
kelokalan, dan perbedaan. Tanpa adanya perbedaan, tak mungkin ada
kepariwisataan. Tanpa adanya yang unik, berbeda, dan bersifat lokal,
tidak akan ada orang yang akan melakukan perjalanan. Uniformitas,
penyeragaman, akan mematikan kepariwisataan. Karena itu (undang-undang
itu) sangat bertentangan dengan hakikat kepariwisataan itu sendiri (I
Gede Ardika, mantan Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata)[1]
- Dalam pelajaran tata bahasa tingkat dasar sudah terdapat pelajaran
bahwa "seksual" bukanlah kata benda. Dari segi kalimat, kata "...
mengeksploitasi seksual" pasti lebih tepat "mengeksploitasi
seksualitas". Dari segi tata bahasa itu, kalau diteliti lebih lanjut,
akan makin terlihat kesembronoan rancangan undang-undang ini. Erotika,
sebagai kata yang netral, di situ diperlakukan sebagai kata yang jorok.
Ini bukan hanya kesembronoan terhadap bahasa kita, tapi juga terhadap
bangsa kita (Ayu Utami) [2]
- Dari mana istilah "pornoaksi" itu berasal karena dicari di kamus di
mana pun tak ada istilah "pornoaksi". Ini permainan politik, politik
seks. Semangatnya melarang, mengintimidasi, bukan melindungi. Pada RUU
APP itu seperti terjadi "revolusi kebudayaan", yang ingin
mengintroduksikan dan memaksakan bentuk kebudayaan impor, kebudayaan
yang bukan dari Indonesia. (Gadis Arivia)[3]
- RUU ini, menggunakan logika patriarkis—logika yang menganggap
nilai-nilai yang melekat pada laki-laki lebih baik daripada perempuan
dan karenanya mendominasi—sebab melekatkan dosa dan moral pada tubuh
perempuan. Seks, tubuh, dan sensualitas merupakan ekspresi kebebasan
intelektual yang tidak mengandung bahaya apa pun. Di berbagai negara
demokratis pornografi diakui ada dalam kehidupan manusia sehingga hanya
dapat diatur melalui pengaturan distribusi, pajak, dan materi
pornografi. (Gadis Arivia)[4]
- Dalam kasus bahasa agama, aurat perempuan misalnya, bagaimana ia
harus diberi batasan atau ditafsirkan dan diterjemahkan? Apakah itu
berarti sama dengan ketelanjangan atau semitelanjang? Lalu parameter
yang disepakati mengenai kedua kata ini? Dalam hukum Islam kata aurat
ditafsirkan oleh ulama secara berbeda-beda. Sebagian ulama menyatakan
semua tubuh perempuan, sebagian mengecualikan wajah dan telapak tangan,
sebagian mengecualikan wajah, telapak tangan dan telapak kaki, sebagian
mengecualikan wajah, lengan tangan dan betis kaki. Batasan mana yang
menjadi pandangan RUU ini? (KH Husein Muhammad, pengasuh Pondok
Pesantren Darut Tauhid, Cirebon) [5]
- Ini antiseksualitas dan antierotika. Dari segi kebudayaan ini sangat
berbahaya. Padahal, seksualitas dan erotika itu sangat penting untuk
kesehatan. Problem di Indonesia saat ini, adalah tidak atau kurang
tergarapnya modal sosial. Daulat manusia tidak ada. Tanpa daulat
manusia, tidak ada daulat rakyat dan daulat hukum. Yang ada daulat
partai, daulat pemerintah. Meski ada reformasi segala, keadaan kita
ternyata masih seperti ini. (WS Rendra) [6]
- Yang paling khawatir adalah orang menerima kaidah yang sangat
berbahaya yaitu negara boleh mengatur moralitas. Saya lupa kata-kata
persisnya Iwan Fals tetapi dia mengatakan, "Moral dan akhlak biar kita
saja yang mengurus. Bapak presiden yang baru dipilih membuat peraturan
yang bersih saja." Kalau negara sudah campur dengan moralitas, kita bisa
jadi negara Taliban atau bisa jadi seperti George W. Bush. (Wimar
Witoelar) [7]
- Pakaian adat Indonesia yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan
saja di museum. Itu harus dianggap sebagai pornoaksi dan harus masuk
dalam kategori porno yang diatur dalam RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi
(APP). "Itu disimpan saja di museum, jangan dilestarikan, karena tidak
sesuai dengan martabat bangsa ini. Biar menjadi sejarah bahwa itu pernah
menjadi bagian dari bangsa ini." (Cholil Ridwan, Ketua Majelis Ulama
Indonesia) [8]
- pemberantasan pornografi-pornoaksi yang diatur dalam RUU-APP itu
bukan untuk menghancurkan Bhinneka Tunggal Ika, karena di dalam
kebhinekaan itu tidak ada yang porno. Maka saat ini para demonstran
berkumpul untuk membersihkan negeri ini dari segala bentuk
pornografi-pornoaksi (Ketua MUI Pusat KH Ma'ruf Amien, saat Aksi Sejuta
Umat 21 Mei 2006)
- industri pornografi-pornoaksi telah dijalankan oleh sistem, karena
itu pemberantaran pornografi-ponoaksi menjadi mandul (Habib Rizieq, saat
Aksi Sejuta Umat 21 Mei 2006)
- Ini bukan perjuangan untuk mengesahkan RUU-APP, karena ternyata
RUU-APP yang tengah digodok oleh DPR justru melenceng dari fatwa MUI.
Asas Ketuhanan Yang Maha Esa telah dihilangkan, yang menunjukkan bahwa
negeri ini hendak diseret menjadi semakin sekuler. Jika RUU ini
disahkan, ia juga tidak boleh menyimpang dari syariah. Karena itu,
serunya, perjuangan kita masih panjang. Karena hanya dengan syariah,
negeri ini bisa diselamatkan, dan itu hanya mungkin jika negeri ini
berada dalam naungan Khilafah Islam. (H. Ismail Yusanto, juru bicara
HTI, saat Aksi Sejuta Umat 21 Mei 2006)[9]
- Yogyakarta menolak RUU Pornografi karena banyak pasal dari RUU
tersebut yang rumusannya tidak jelas. Misalnya dalam Pasal 14 ada
kalimat "perbuatan penyebarluasan dan penggunaan materi seksualitas
dapat dilakukan jika untuk kepentingan atau memiliki nilai seni budaya,
adat istiadat dan, ritual tradisional". Padahal setiap UU seharusnya
tidak ada pengecualian. Ini menunjukkan ada pasal yang diskriminatif.
Selain itu pada Pasal 20 ada kalimat "masyarakat berperan serta
melakukan pencegahan terhadap pembuatan penyebarluasan pornografi". Ini
berbahaya karena masyarakat diminta berpartisipasi dalam pencegahan
pornografi, tetapi tidak ada penjelasan konkret mengenai tindakan
tersebut. (GKR Hemas, 22 September 2008) [10]
- RUU Pornografi dibuat dengan pikiran yang ngeres sehingga
yang diurusi cuma perkara yang membangkitkan hasrat seksual. RUU itu
hanya berisi pernyataan multitafsir yang tidak bisa dibenarkan dalam
suatu UU. (Butet Kartaredjasa, 22 September 2008) [11]
- Pemerintah Provinsi Sulut telah didesak oleh sejumlah pemangku
masyarakat di Sulawesi Utara untuk menolak pengesahan undang-undang
pornografi. Saya dapat banyak SMS dan telepon yang meminta Sulut menolak
undang-undang itu. Masyarakat kami sangat menghormati perempuan,
sehingga tidak ada disparitas jender. (Freddy Sualang, Wakil Gubernur
Sulawesi Utara, 18 September 2008) [12]
Saya melihat ada agenda politik orang-orang di DPR untuk meraih
suara lagi di Pemilu berikutnya. Banyak konstituen mereka, saya kira
akan senang kalau peraturan dengan nama menghabisi pornografi digolkan.
Tapi saya yakin ada agenda politik jangka pendek orang per orang di DPR.
(Ayu Utami, 8 April 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar