Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau
dengan tulisan di bawah tangan.(vide pasal 1867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”))
Akta otentik adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk kepentingan pihak-pihak dalam kontrak.
Dalam peraturan perundang-undangan disebutkan beberapa jenis kontrak yang harus dilakukan melalui akta otentik dan yang cukup dilakukan melalui akta bawah tangan.
Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta. Akta dapat dibedakan dalam akta
otentik dan akta di bawah tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan
sebagai akta harus ditandatangani, harus dibuat dengan sengaja dan harus
untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat.
Sehingga surat yang tidak ditandatangani dapat dikategorikan sebagai
surat bukan akta (vide Pasal 1869 KUHPerdata). Contoh surat bukan akta
adalah tiket, karcis, dan lain sebagainya.
Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah
tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Suatu akta
otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita,
Pegawai Pencatat Sipil),di tempat akta itu dibuat.(vide Pasal 1868
KUHPerdata, Pasal 165 Herziene Indonesisch Reglemen (“HIR”), dan Pasal
285 Rechtsreglement Buitengewesten (“RBg”)). Akta di bawah tangan cara
pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan
pejabat pegawai umum,
tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja (vide Pasal 1874
KUHPerdata dan Pasal 286 RBg). Contoh dari akta otentik adalah akta
notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan,
surat perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya, sedangkan akta di
bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah,
surat perjanjian jual beli, dan sebagainya.
Akta mempunyai fungsi formil (formalitas causa) dan
fungsi sebagai alat bukti (probationis causa) Akta sebagai fungsi formil
artinya bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Sebagai contoh perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil adalah perbuatan hukum disebutkan dalam Pasal 1767 KUHPerdata mengenai perjanjian hutang piutang. Minimal terhadap perbuatan hukum yang disebutkan dalam Pasal
1767 KUHPerdata, disyaratkan adanya akta bawah tangan. Fungsi akta
lainnya yang juga merupakan fungsi akta yang paling penting adalah akta
sebagai alat pembuktian. Dibuatnya akta oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian di kemudian hari.
Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua
belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak
darinya tentang apa yang dimuat dalam akta
tersebut (vide Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, dan Pasal 1870
KUHPerdata). Akta otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti
kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta
tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai
benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat
membuktikan sebaliknya. Sebaliknya, akta di bawah tangan dapat menjadi
alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta
para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya hanya
apabila tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai. (vide Pasal 1857 KUHPerdata)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar